Jumat, 06 April 2007

Sepi...

"Dor..Dor..dor.." suara tembakan terdengar 3 kali berturut-turut. Setelah suara tembakan itu berlalu, kumerasakan rasa panas yang luar biasa di kedua pahaku lalu dunia terasa menjadi gelap, gelap sekali yang akhirnya aku berada pada tempat yang membingungkan antara ada dan tiada semuanya serba membingungkan.

Setelah lama aku berada pada situasi itu, lalu aku terbangun dan kulihat di sekitarku hanyalah ada kain-kain putih. Ternyata aku sekarang ada di rumah sakit. lalu kulihat kakiku, "Oh, Tuhan kakiku telah menghilang, Dokter telah mengambilnya tanpa seijinku" hati teriak tanpa hentinya. Disamping tempat tidurku ada sebuah karangan bunga, dan didalamnya ada sebuah surat.

Surat tersebut aku buka, tertulis didalamnya " Maafkan atas keteledoran anak buahku, satuan kami akan memproses dia secara hukum, semoga Dik Andi cepat sembuh... Ttd Jenderal Santoso". Mendapatkan surat langsung dari seorang Jenderal tidaklah membuat hatiku bahagia padahal dulu ingin sekali aku berkenalan dengan seorang jenderal karena aku begitu salut dan kagum kepada mereka dan cita-citaku dulu ingin menjadi salah satu anggota pembela negara ini.

Namun surat yang kudapatkan dari seorang jendral yang kubangga-banggakan tak membuatku bahagia dengan kondisiku saat ini. Lalu mataku mulai mencucurkan air mata, aku menangis sejadi-jadinya memikirkan kedua kakiku yang telah terpisah dari tubuhku. Aku banting karangan bunga beserta suratnya. Dan berdatanganlah para suster dan dokter memeriksa kondisiku saat itu.

Setelah sebulan aku berada disana, kondisiku mulai membaik lalu aku mulai menemui kasir di rumah sakit itu. Saat kutanyakan berapa biaya yang harus ku keluarkan. Keluar beberapa kalimat dari kasir itu "Maaf pak, semua tagihan untuk kesembuhan bapak sudah ditanggung oleh Jendral Santoso". Mendengar kalimat yang menyenangkan itu tidak membuat hatiku bahagia, aku tetap dingin menanggapinya, dan keluar secara tiba-tiba dari mulut kecilku, "heh" suara yang bernada sinis bagi orang yang mendengarnya.

Lalu aku pulang kerumahku yang cukup besar, namun kosong dari kehidupan manusia. Rumah itu adalah warisan dari kedua orang tuaku. Aku tinggal sendirian tanpa saudara dan istri. Kudatangi semua perabotan rumahku ternyata semua sudah berdebu, aku hanya menarik nafas sambil mendorong kursi rodaku yang mulai terbiasa menjadi pengganti kakiku.

Terasa situasi di tempatku sepi tanpa kehidupan, apalagi pada kondisi saat ini. Kesepian mulai menemuiku dengan gembiranya. Namun hatiku tetap merasakan kesepian yang mendalam. Lalu didepan rumahku terdapat beberapa surat. Satu persatu kulihat secara selintas, ada satu amlop dari perusahaan tempatku bekerja. Tertulis didalamnya bahwa aku telah di PHK secara hormat dan di lampiri bukti transfer sejumlah uang ke rekening pribadiku. Aku terdiam dan rasa sedihku semakin bertambah.

Situasi yang sepi ini membuatku semakin menyesali atas semua tindakan dulu yang pernah kulakukan. Saat itu, kedua orang tuaku masih ada. Di tempat itu di hadiri oleh banyak orang, keluarga besarku dan keluarga besar calon istriku berkumpul. Pada saat acara Ijab Kabul sebagai sarat sahnya sebuah pernikahan. Aku tiba-tiba berontak dan mengatakan secara sepihak bahwa aku tidak mau acara itu dilanjutkan, aku merasa masih ingin bebas, bebas dari ikatan siapapun. Aku saat itu masih berpikir bahwa karirku jauh lebih penting daripada pernikahan yang akan membuat pikiranku bercabang.

Mendengar tindakanku saat itu, semua orang yang hadir kaget, wanita disebelahku langsung menangis menahan rasa sedih dan kecewa yang sangat dalam. Keluarga calon istriku langsung pergi dengan nada kesal dan tampak wajah yang merah memedam rasa marah, keluarga besarku terdiam menahan rasa malu lalu satu persatu rumah itu sepi dan sepi.

Sekarang, aku baru menyadari betapa sepinya hidup sendirian, seandainya peristiwa itu bisa terulang mungkin situasi saat ini tidak akan sesepi yang kualami. Hatiku sepi, jiwaku sepi, telingaku sepi, kakiku sepi, kesepian yang melebihi sepinya sebuah kuburan dimalam hari tanpa ada seekor binatangpun berkunjung padanya. Sepiii...

-Gantira- Jakarta

Tidak ada komentar: